Hakikat Ibadah
Hakikat ibadah itu adalah ketundukan dan perendahan diri. Apabila disertakan bersamanya kecintaan dan kepatuhan maka jadilah ia ibadah secara syar’i. Dalam tinjauan syari’at, ibadah itu adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dengan dilandasi rasa cinta, harap, dan takut (lihat at-Tam-hiid, cet. Dar al-Minhaj, hal. 22)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “… ibadah adalah segala sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah berupa ucapan dan perbuatan, yang tampak/lahir maupun yang tersembunyi/batin.” (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, 1/40)
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah Allah yang disampaikan melalui lisan para rasul.” (lihat dalam Fat-hul Majid Syarh Kitab at-Tauhid, cet. Mu’assasah Qurthubah, hal. 29)
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Ibadah adalah ketaatan yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan. Seorang hamba disebut sebagai abdi (hamba) karena perendahan diri dan ketundukannya.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 10)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang abdi/hamba adalah orang yang menyesuaikan diri dengan sesembahannya [Allah] dalam apa saja yang dikehendaki oleh-Nya secara syar’i.” (lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 18)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ibadah dalam terminologi syari’at adalah ungkapan mengenai satu kesatuan perbuatan yang memadukan kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/134 cet. Dar Thaibah)
Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi hafizhahullah berkata, “Ibadah adalah ketaatan yang disertai perendahan diri, ketundukan, dan kecintaan.” (lihat Tafsir Suratil Fatihah, hal. 18)
Tujuan Penciptaan Jin dan Manusia
Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Makna ayat ini Allah mengabarkan bahwasanya tidaklah Allah ciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepada-Nya. Yang dimaksud beribadah kepada-Nya adalah taat kepada-Nya dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan (lihat al-Jami’ al-Farid, hal. 10)
Ayat tersebut berisi penjelasan tentang tauhid. Sisi pemahamannya adalah karena para ulama salaf terdahulu menafsirkan firman Allah (yang artinya), “Kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.” dengan makna, “Supaya mereka mentauhidkan-Ku.” (lihat at-Tam-hid, hal. 11)
Ali bin Abi Thalib menafsirkan ayat itu, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk Aku perintahkan mereka beribadah kepada-Ku dan Aku seru mereka untuk beribadah kepada-Ku.” Mujahid berkata, “Melainkan untuk Aku perintah dan larang mereka.” Inilah penafsiran yang dipilih oleh az-Zajaj dan Syaikhul Islam (lihat ad-Durr an-Nadhidh, hal. 10)
Imam al-Baghawi rahimahullah mengutip perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Setiap -perintah untuk- beribadah yang disebutkan di dalam al-Qur’an maka maknanya adalah -perintah untuk- bertauhid.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 20)
Hal itu sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian.” (al-Baqarah : 21). Perintah untuk menyembah/beribadah di dalam ayat ini mencakup dua pemaknaan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah; pertama bermakna mentauhidkan-Nya dan yang kedua bermakna taat kepada-Nya. Kedua penafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma (lihat Zaadul Masiir, hal. 48)
Seruan Setiap Rasul kepada Kaumnya
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul [yang menyerukan]; Beribadahlah kepada Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl: 36).
Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan, “Ibadah kepada thaghut maksudnya adalah ibadah kepada selain Allah subhanahu. Sebab ibadah tidaklah sah jika dibarengi dengan syirik. Dan ia tidaklah benar kecuali apabila dilakukan dengan ikhlas/murni untuk Allah ‘azza wa jalla. Adapun orang yang beribadah kepada Allah namun juga beribadah kepada selain-Nya, maka ibadahnya itu tidak sah/tidak diterima.” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah fi Hadzal ‘Ashri wa Thuruqu ‘Ilaajihaa, hal. 12)
Di dalam kalimat ‘sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’ terkandung itsbat/penetapan dan nafi/penolakan. Yang dimaksud itsbat adalah menetapkan bahwa ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Dan yang dimaksud nafi adalah menolak sesembahan selain Allah. Kedua hal inilah yang menjadi pokok dan pilar kalimat tauhid laa ilaha illallah. Dalam ‘laa ilaha’ terkandung nafi dan dalam ‘illallah’ terkandung itsbat. Sebagaimana dalam ‘sembahlah Allah‘ terkandung itsbat dan pada kalimat ‘jauhilah thaghut’ terkandung nafi (lihat at-Tam-hiid, hal. 14)
Inilah metode al-Qur’an -dalam menjelaskan hakikat tauhid- yaitu menyandingkan nafi dengan itsbat. Menolak segala sesembahan selain Allah dan menetapkan ibadah untuk Allah semata. Penafian semata bukanlah tauhid, demikian pula itsbat tanpa nafi juga bukan tauhid. Tidaklah disebut tauhid kecuali apabila di dalamnya terkandung penafian dan penetapan. Seperti inilah hakikat tauhid itu (lihat Hasyiyah Kitab at-Tauhid, hal. 14)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka bukanlah perkara yang terpenting adalah bagaimana orang itu melakukan puasa atau sholat, atau memperbanyak ibadah-ibadah. Sebab yang terpenting adalah ikhlas. Oleh sebab itu sedikit namun dibarengi dengan keikhlasan itu lebih baik daripada banyak tanpa disertai keikhlasan. Seandainya ada seorang insan yang melakukan sholat di malam hari dan di siang hari, bersedekah dengan harta-hartanya, dan melakukan berbagai macam amalan akan tetapi tanpa keikhlasan maka tidak ada faidah pada amalnya itu; karena itulah dibutuhkan keikhlasan…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 17-18)
Hakikat Ajaran Ibrahim
Allah berfirman (yang artinya), “Mereka mengatakan ‘Jadilah kalian pengikut Yahudi atau Nasrani niscaya kalian mendapatkan petunjuk’. Katakanlah, ‘Bahkan millah Ibrahim yang hanif itulah -yang harus diikuti- dan dia bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (al-Baqarah : 135)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Hakikat millah Ibrahim itu adalah mewujudkan makna laa ilaha illallah, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla dalam surat az-Zukhruf (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya; Sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian sembah, kecuali Dzat yang telah menciptakanku, maka sesungguhnya Dia akan memberikan petunjuk kepadaku. Dan Ibrahim menjadikannya sebagai kalimat yang tetap di dalam keturunannya, mudah-mudahan mereka kembali kepadanya.” (az-Zukhruf : 26-28).” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 14)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kalimat ini yaitu beribadah kepada Allah ta’ala semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan mencampakkan segala berhala yang disembah selain-Nya, itulah kalimat laa ilaha illallah yang dijadikan oleh Ibrahim sebagai ketetapan bagi anak keturunannya supaya dengan sebab itu orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dari keturunan Ibrahim ‘alaihis salam tunduk mengikutinya…” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 7/225)
Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya agama Allah yang dipilih-Nya bagi hamba-hamba-Nya, agama yang menjadi misi diutusnya para rasul, dan agama yang menjadi muatan kitab-kitab yang diturunkan-Nya ialah al-Hanifiyah. Itulah agama Ibrahim al-Khalil ‘alahis salam. Sebagaimana itu menjadi agama para nabi sebelumnya dan para rasul sesudahnya hingga penutup mereka semua yaitu Muhammad, semoga salawat dan salam tercurah kepada mereka semuanya.” (lihat al-Bayan al-Murashsha’ Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 14)
Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “al-Hanifiyah itu adalah tauhid. Yaitu kamu beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya. Ini merupakan kandungan makna dari laa ilaha illallah. Karena sesungguhnya maknanya adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 11)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330)
Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang indah pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (al-Mumtahanah : 4)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sungguh telah disyari’atkan terjadinya permusuhan dan kebencian dari sejak sekarang antara kami dengan kalian selama kalian bertahan di atas kekafiran, maka kami akan berlepas diri dan membenci kalian untuk selamanya “sampai kalian beriman kepada Allah semata” maksudnya adalah sampai kalian mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan kalian mencampakkan segala yang kalian sembah selain-Nya berupa tandingan dan berhala.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 8/87)
Cinta dan Benci karena Allah
Garis keturunan bukanlah standar cinta dan benci. Saudara kita yang sejati adalah saudara kita yang seakidah. Meskipun orangnya hidup di ujung dunia, maka dia adalah saudara kita. Adapun musuh kita yang sejati adalah musuh kita dalam hal akidah, meskipun dia adalah orang yang paling dekat garis keturunannya dengan kita (lihat Hushulul Ma’mul, hal. 37)
Suatu ketika, Abdullah putra Abdullah bin Ubay bin Salul -gembong munafikin- duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu beliau sedang minum. Abdullah berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah anda sisakan air minum anda untuk aku berikan kepada ayahku? Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan hatinya dengan air itu.” Nabi pun menyisakan air minum beliau untuknya. Lalu Abdullah datang menemui ayahnya. Abdullah bin Ubay bin Salul bertanya, “Apa ini?”. Sang anak menjawab, “Itu adalah sisa minuman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku membawakannya untukmu agar engkau mau meminumnya. Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan hatimu dengannya.” Sang ayah berkata kepada anaknya, “Mengapa kamu tidak bawakan saja kepadaku air kencing ibumu, itu lebih suci bagiku daripada bekas air minum itu.” Maka sang anak pun marah dan datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah anda mengizinkan aku membunuh ayahku?”. Nabi menjawab, “Jangan, hendaknya kamu bersikap lembut dan berbuat baik kepadanya.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 54)
Dari Anas radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang mendapati hal itu ada pada dirinya maka dia akan merasakan manisnya iman. Yaitu apabila Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya. Dan dia mencintai seseorang maka tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah semata. Dan dia benci/tidak suka kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci/tidak suka apabila hendak dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Umamah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka dia telah menyempurnakan iman.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani)